BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 26 Juli 2010

GERABAH PUNDONG


Artefak aneka bentuk gerabah yang fungsional maupun berupa ragam hias banyak diketemukan sebagai bagian penemuan arkeologis. Sejarah memang mencatat ketrampilan membuat gerabah telah menjadi bagian perkembangan peradaban bangsa-bangsa di nusantara. Jejak historisnya pun masih jelas terwariskan hingga masa kini.

Menurut kajian arkeologis, keahlian membuat keramik jenis gerabah atau tembikar di nusantara baru dikenal di masa bercocok tanam. Siklus cocok tanam yang menyisakan waktu luang cukup panjang bagi para petani memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan keahlian ini. Jenis gerabah yang dihasilkan kebanyakan berupa peralatan rumah tangga.

Akan tetapi baru pada masa perundagian karya-karya gerabah mulai berkembang luas, tidak lagi sekedar menjadi bagian peralatan rumah tangga, tapi telah pula menjadi bagian perangkat sosial, ritual keagamaan, ekspresi seni bahkan lambang status sosial. Dari artefak tembikar yang ditemukan di situs Trowulan, lokasi bekas kerajaan Majapahit yang berjaya serentang abad ke 13-15 M, diketahui bahwa saat itu produk tanah liat selain berbentuk perangkat rumah tangga, ada pula yang dimanfaatkan untuk perangkat ritual dan karya seni. Seniman-seniman tembikar masa inilah yang diyakini mengembangkan tehnik cungkil, tusuk, gores, tempel dan tekan, yang masih dikenal hingga kini.

Bolehlah jika kemudian kita menyimpulkan keahlian membuat gerabah adalah salah satu bentuk pewarisan tertua yang masih bertahan hingga sekarang. Sentra-sentra industri gerabah pun masih tersebar di banyak daerah, beberapa yang terkenal saat ini antara lain Banten; Panjunan, Cirebon; Pleret, Purwakarta; Klampok, Banjarnegara; Slawi, Tegal; Mayong, Jepara; Pagerjurang, Bayat, Klaten; Kasongan, Yogyakarta ; Malo, Bojonegoro dan Lombok di Nusa Tenggara Barat. Di luar nama-nama besar tersebut, di Yogyakarta masih ada satu tempat lagi yang layak disebut dalam “peta gerabah”, yakni Dusun Jetis, Kecamatan Pundong.

Turun temurun
Dusun Jetis, Panjangrejo, terletak di kecamatan Pundong, Bantul, sekitar 20 kilometer arah selatan kota Yogyakarta. Di kecamatan Pundong terdapat beberapa dusun lain yang kini tumbuh menjadi sentra industri gerabah, namun Jetis memiliki keunikan tersendiri. Di Jetis kita bisa menyaksikan gerabah dalam bentuk paling tradisional, yakni bentuk-bentuk dasar yang fungsional, semisal periuk, belanga, wajan, kendhi, genthong air dan cobek. Tehnik produksinya pun masih sama seperti yang dipakai moyang mereka beberapa generasi sebelumnya.

Namun, sebagaimana kecenderungan yang berlangsung di sentra kerajinan gerabah lainnya, permintaan pasar mendorong perajin untuk memproduksi bentuk-bentuk baru. Misalnya saja kap lampu, panel-panel keramik, asbak, celengan, ataupun aneka bentuk hiasan berbahan tanah liat. Bahkan tak jarang bentuk atau desain yang sama sekali baru juga dibuat berdasar pesanan. Tetapi bila tidak ada pesanan, para perajin akan kembali memproduksi barang-barang gerabah untuk kebutuhan rumah tangga.

Seperti halnya sebagian besar penduduk Kecamatan Pundong lainnya, sebetulnya mata pencaharian utama penduduk Jetis adalah bertani. Profesi sebagai pembuat gerabah hanyalah pekerjaan sambilan saja. “Membuat gerabah sebenarnya profesi sambilan turun temurun. Moyang kami sejak dahulu terkenal sebagai pembuat gerabah seperti genthong, kuali dan kendhi”, tutur Pak Dasilan, perajin gerabah yang memiliki tempat produksi terbesar di Jetis.

Tiga puluh tahun lalu, jenis produk maupun lingkup pasar mereka masih sangat sederhana dan terbatas di sekitar Pundong saja. Akan tetapi sejak tahun 1974, pekerjaan sambilan tadi mulai mendapat sentuhan perhatian dari pemerintah desa setempat. Beberapa warga diminta untuk pelatihan pengembangan industri gerabah, yang kemudian ditindak lanjuti dengan bantuan pemasaran produk mereka melalui KUD Panjangrejo. Namun pelatihan yang intensif dan komprehensif baru dilakukan pada tahun 1990-an oleh Departemen Perindustrian DIY dan lembaga-lembaga terkait.

Sederhana
Salah satu keunikan yang masih bisa disaksikan di Jetis adalah cara pembuatan gerabah yang masih memakai tehnik putar, salah satu tehnik dasar tradisional yang sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Peralatan utamanya adalah perbot atau meja putar yang terbuat dari kayu, sedangkan proses pembakaran masih dilakukan dengan tungku terbuka yang terbuat dari susunan batu-bata. Kayu bakar sebagai bahan bakar selain diperoleh dari daerah sekitar juga didatangkan dari Purworejo.

Tanah liat sebagai bahan dasar biasanya didatangkan dari daerah Godean, Kabupaten Sleman, yang dianggap berkualitas cukup bagus. “Harga tanah liat satu colt rata-rata Rp. 175.000,00,” terang Pak Dasilan. Rata-rata tanah liat sebanyak itu mencukupi untuk produksi selama satu bulan, kecuali ada pesanan dalam jumlah besar.

Selain produk gerabah untuk kebutuhan rumah tangga, perajin desa Jetis juga memproduksi gerabah atau keramik berukuran kecil. Biasanya produk tersebut dibuat berdasar permintaan pemesan yang membawa desain atau sample sendiri. Pak Dasilan mengakui pengrajin keramik Jetis belum mempu mebuat desain sendiri, maupun juga melakukan finishing (pewarnaan) sendiri. “Kalaupun ada yang mencoba melakukan finishing sendiri, hasilnya masih jauh dari memuaskan,” lanjut bapak tiga anak ini.

Kondisi tersebut membuat harga per-item relatif murah, dari Rp. 300,00 sampai termahal Rp. 25.000,00. Jenis produk antara lain tempat lilin, koin-koin tanah liat, asbak, kap lampu dan panel-panel hias, yang biasanya dijadikan cinderamata atau hiasan interior.

Lemah pemasaran
Menurut Pak Dasilan, salah satu kelemahan perajin di Jetis adalah penguasaan pasar secara mandiri. Selama ini pemasaran produk kerajinan gerabah Jetis masih menumpang pada pemilik kios di Kasongan, sentra industri gerabah yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Jetis. Itu pun kebanyakan dibuat berdasar pesanan. Selain pesanan dari sesama perajin atau eksportir di Kasongan, pesanan juga datang dalam jumlah kecil untuk souvenir pernikahan atau acara lainnya.

“Untuk pemasaran ke luar daerah kami belum mampu. Selain kemampuan produksi belum mencukupi, kami juga masih belajar teknis pemasaran,” ungkap pak dasilan menambahkan. “Karena itu kami seakarang sering mengikuti ajang pameran produk di berbagai daerah.”

Berbagai upaya pengembangan pun telah dilakukan, diantaranya dengan membentuk Paguyuban Siti Kencana. Kini anggota paguyuban itu mencapai 35 orang perajin, yang semuanya memiliki unit usaha sendiri yang rata-rata mempekerjakan 3-5 orang. “Dengan jumlah tenaga yang terbatas, maka kemampuan produksi kami juga tidak seberapa,” ujar Pak Barowi, ketua Paguyuban Siti Kencana. Menurutnya pernah ada pesanan gerabah dalam jumlah besar dari Korea Selatan, namun karena jangka waktu pemesanannya relatif pendek transaksi tersebut batal tercekal.

Sektor industri ini menyerap banyak tenaga kerja dari dusun Jetis dan beberapa dusun tetangga, sehingga praktis tidak ada pengangguran di Jetis. Dua tahun belakangan ini, berkat promosi yang dilakukan, diantaranya dengan mengikuti pameran-pameran, dusun Jetis muai tersohor sebagai sentra gerabah baru. Kini dalam satu bulan setidaknya ada tiga atau empat kali kunjungan tamu dari luar daerah untuk melakukan studi banding, atau kunjungan wisata, semisal dari DPRD Bontang dan pejabat-pejabat Dinas Perindustrian Kabupaten Jayawijaya.

0 komentar: